Misionaris Belanda, Pater Herman Tilemans, MSC adalah salah satu misionaris yang dengan gigih, tabah, dan berani datang ke Papua untuk melaksanakan mandat agung Yesus Kristus kepada para murid-murid-Nya untuk menyebarkan Injil ke seluruh bangsa.
Pater
Tillemans bersama dengan Dr. W. J. Cator (pemimpin ekspedisi) masuk ke
daerah Paniai. Rute perjalanan dari Uta melintasi sungai Urumuka sampai
di pelabuhan Odaiya (Odaiya tei/ Eyagai Kigida) menuju Digi Tadi. Di
tempat ini secara diam-diam dua orang yang sedang berburu melihat
rombongan ekspedisi. Dua orang itu bernama: Bowaiyawi Badii (asal
Makiyai - Wagomani) dan Yupeyawode Kotouki (asal Ugi Kebo - Obaiya).
Rombongan ini bermalam di Digi Tadi pada tanggal 3 Oktober 1937.
Sedangkan Bowaiyawi berlari-lari menuju ke Matadi untuk mengabarkan
kedatangan orang asing di wilayah mereka, dan Yupeyawode pulang ke
Obaiya.
Bowaiyawi
menginformasikan penemuan orang asing kepada Diyemuma Badii. Kemudian
Diyemuma mengumumkan berita itu kepada masyarakat yang berdomisili di
Matadi. Rombongan ekspedisi melintasi sungai Yawei menuju Obaiya, dan
melintasi gunung Utai Dimi dan bermalam di Dokeyauwo – Daiyapotiya di
Matadi pada tanggal 4 Oktober 1937. Pada tanggal 5 Oktober 1937
rombongan ini tiba di Kinoumani (Matadi).
Di
sini mereka bertemu dengan beberapa orang suku Mee yang sedang menanti
kedatangan orang asing, yaitu: Tegaipouga Badii, Kaga Bedo Badii,
Boaiyawi Badii (pembawa berita), Yaikawode Badii, Diyeiyawi Badii,
Tetogouwiyai Badii, Etigawode Badii, Tekapeuwode Auwe, Takapawode Badii, Mitopawode Badii, Dugi Badii, dan Tabaidawi Badii.
Kedatangan
rombongan ini disambut dengan ramah oleh masyarakat setempat dengan
salaman dan memberikan makanan yang sudah disiapkan sebelumnya, antara
lain: petatas (nota), pisang (kugou), tebu (eto), keladi (nomo).
Warga setempat berpendapat bahwa para ekspedisi itu adalah penunggu
air, karena kulit orang asing itu putih, ada pula yang berpendapat masih
anak-anak kecil karena kulitnya putih seperti kulit bayi. Makanan yang
diberikan warga, disantap tanpa ada keraguan satu pun. Rombongan ini
memberikan bibit jagung dan boncis kepada warga setempat yang telah
menerima kedatangan para ekspedisi ini.
Setelah
makan makanan yang telah diberikan, rombongan ini melintasi gunung
Makiyai didampingi beberapa orang warga. Sampai di Paawage, Pater
Tillemans mengambil tanah liat dan mengisi di tasnya. Sesampai di
Mudegamouda, Pater Tillemans memotong sebuah batu dan mengisi di tasnya.
Dan sesampai di Idemakida, Tillemans mengambil lagi kulit kayu Aiyai.
Kemudian rombongan ini tiba di Kopimanida (Makiyai), mereka melihat
daerah Debei yang penuh dengan asap. Di tempat ini, mereka membersihkan
rumput dan menebang pohon dengan tujuan hendak melihat keadaan Daerah
Debei yang dihuni oleh masyarakat. Pater Tillemans mengambil sapuh
tangan (handuk putih) dan melambai-lambai sebagai ungkapan kegembiraan
karena rombongan ini telah menemukan perkampungan warga setempat, dan 4
orang setempat yang menemani rombongan ini juga turut serta
mengungkapkan kegembiraan dengan tarian adat (yame ama duwata).
Rombongan
ini tiba di Doutoudagi (Makiyai) dan bertemu dengan beberapa warga
setempat, yaitu: Dugi Badii, Tabaidawi Badii, dan Mitopawode Badii. Di
tengah-tengah mereka membaringkan seekor babi betina yang bernama
ogeuga. Di antara rombongan ini menunjuk babi itu sambil mengatakan:
“babi...babi...!”. Masyarakat setempat berpikir bahwa apa yang dikatakan
itu “ibabi”, maka mereka mencari binatang “ibabi”, dan salah seorang memberikan kepada rombongan itu. Namun, ibabi itu tidak diterimanya dan salah satu dari rombongan ini menunjuk ke arah babi, lalu mereka mengetahui bahwa bukan ibabi, tetapi babi itulah yang dimaksudkan oleh rombongan itu.
Dugi
Badii dan teman-temannya mengabarkan kedatangan orang asing kepada
Kampung terdekat, yakni kampung Tadauto dengan mengatakan: “di sini
kedatangan orang-orang asing, badannya besar, tetapi kulitnya putih
seperti bayi, maka itu segera datang dengan membawa makanan”. Beberapa
orang marga Bobii dari Kampung Tadauto datang menemui orang-orang asing
itu. Sesampai di Makiyai,
secara diam-diam mereka melihat orang asing itu, ternyata benar bahwa
badannya besar, tetapi kulitnya putih seperti bayi. Lalu mereka kembali
ke Kampung Tadauto untuk mengambil makanan. Dugi Badii dan
teman-temannya sepakat untuk menyembelih babi, jika romobongan itu
bermalam di Doutou Dagi (Makiyai).
Berita
tentang kedatangan orang asing ini di dengar oleh masyarakat yang
berdomisili di Wagomani dan beberapa orang (fam Waine) datang menemui
rombongan itu, dan membawa mereka ke Bobauga Kotu untuk bermalam di
situ; tetapi pater Tillemans meminta masyarakat setempat untuk dibawa ke
Yomega Kotu. Sementara itu beberapa orang fam Bobii kembali lagi ke
Makiyai dengan membawa makanan, ternyata para orang asing itu tidak ada
di tempat; warga setempat memberitahu bahwa rombongan itu telah dibawa
oleh beberapa orang fam Waine.
Rombongan
ini tiba di Yomega Kotu (Wagomani) bersama dengan masyarakat setempat,
dan membuat pondok darurat untuk bermalam pada tanggal 5 Oktober 1937.
Rombongan ini mengambil sebuah mesin dan menghidupkannya, lalu
memasukkan sebuah batu yang diambilnya di gunung Makiyai ke dalam mesin
itu, kemudian batu itu diukir menjadi sebilah parang. Dengan parang itu
memotong sebuah pohon (getimo).
Pada
tanggal 6 Oktober 1937 masyarakat setempat (fam Waine), menyiapkan dua
ekor babi (seekor babi putih) disiapkan oleh Dege Waine dan seekor babi
hitam disiapkan oleh Buna Waine dan mengambil dedaunan Mai serta
mengalaskannya dan meletakkan dua ekor babi di atas daun itu untuk
menyambut para orang asing ini dengan sapaan
“aye...aye...muku...muka....” Ketika itu juga datanglah dua orang, yang
bernama: Taadiki (suku Moni) dan Digi Ego Iyai (suku Mee). Kedua orang
itu membawa pergi para orang asing ke Kamuu melintasi gunung Atai Dimi,
dan sampai di Itouda. Di situ masyarakat setempat menyiapkan seekor babi
untuk disembeli. Pater Tillemans hanya memberkati babi itu, dan para
rombongan itu melanjutkan perjalanan sampai di Bokai Butu dan bermalam
di rumah Kiyeka Wiyai Douw. Keesokan harinya rombongan ini melanjutkan
perjalanannya dengan membawa sebuah peti melintasi Kedegawe dan bermalam
di Diyouda (Widimei).
Perintis Gereja Dan Sekolah Katholik Di Daerah Debei
Pada
tahun 1949 Maiwiyai Pigome yang berdomisili di Dauwo Kebo (antara
Tadauto dan Wiwoge) pergi ke Bagou untuk berbisnis. Di sana ia bertemu
dengan Wadiyawode Mote dan seorang pemuda dengan ciri-ciri fisik:
berbadan besar, tetapi bicaranya agak kaku. Maiwiyai secara diam-diam
mempelajari karakter pemuda itu selama dua hari dua malam. Ternyata
pemuda itu makanan kesukaannya adalah sayur hitam (digiyo)
dan “yatu” sejenis makanan. Maiwiyai mengetahui karakhter pemuda itu,
dan Maiwiyai berpikir bahwa di kebunnya di Digaidoba banyak sayur hitam
dan “yatu”.
Dua
hari kemudian, Maiwiyai kembali ke Kampungnya. Maiwiyai kembali lagi ke
Bagou. Sesampai di Bagou, Maiwiyai bertemu lagi dengan pemuda itu di
rumah Wadiyawode. Ternyata pemuda tampan itu kawin dengan putri bungsu
dari Wadiyawode. Lalu Maiwiyai menyapa pemuda itu dengan ungkapan: “ Anii bakaa!
(ipar).” Sapaan itu menjadi jembatan untuk membangun hubungan kerja
sama yang erat dan kokoh antara Maiwiyai dan pemuda itu, yang kemudian
hari ia mengetahui bahwa pemuda itu bernama Willem Okomongkop,dan
berprofesi sebagai guru.
Pada
suatu hari, Maiwiyai mengajak Willem pergi ke Kampung Dauwo Kebo di
daerah Debei. Dalam perjalanan menuju ke Kampungnya Maiwiyai, Willem
memandang daerah Debei yang terbentang dari Timur ke Barat yang diapit
oleh dua buah gunung (Amuyai dan Kemuge) bagai kuali besar. Keduanya
sampai di Dauwo Kebo dan pergi ke Digai Doba mengambil sayur hitam dan “yatu”. Selama dua hari – dua malam mereka barapen sayur hitam, yatu,
petatas, dan keladi, dan lain-lain. Pada hari ketiga, Willem Okomongkop
memberitahu Maiwiyai untuk mencari salah satu lokasi yang dipandang
masyarakat “tempat keramat”. Maiwiyai pergi ke Wagomani untuk mencari
tempat keramat, di sana ia bertemu Bidaugi Yokaibo Waine, Bidaougi
Yokamoye Waine, Gakiwiyai Waine, Takagouwiyai Waine, dan Wiyai Waine.
Mereka memberitahu tempat keramat (daa kotuu) yang ada di Wagomani dan mengijinkannya untuk membuka lokasi keramat itu.
Maiwiyai kembali ke Douwo Kebo bertemu dengan Willem Okomongkop dan memberitahu bahwa ia telah menemukan lokasi keramat “daa kotu”
di Wagomani. Keesokan harinya keduanya mengambil kapak dan parang untuk
merentes jalan menuju ke Wagomani dengan rute jalan: Dauwo puga -
Onouwo puga – Toyougi -Dabe dagi puga - sampai di lokasi keramat (daa kotu) di Wagomani. Keduanya membersihkan rumput-rumput liar dan menebang pohon-pohon besar yang tumbuh di Daa Kotu selama beberapa bulan. Selama mempersiapkan lokasi itu, keduanya pulang pergi dari Dauwo Kebo melalui jalan yang direntesnya.
Pada
suatu hari, Pelipus Pigome (mantan ketua Kring Demago - sewaktu masih
kecil) ikut serta dengan Willem dan Maiwiyai Pigome. Ia (Pelipus) duduk
santai menyaksikan pohon besar (obai)
yang ditebang dan dipotong-potong oleh Willem Okomongkop. Pada saat
itu, datanglah seorang laki-laki dewasa dengan ciri-ciri fisik: berbadan
besar, tinggi, kulit putih dengan membawa busur dan anak panah.
Laki-laki
itu berdiri menyaksikan pohon besar yang dipotong oleh Willem. Bapak
Willem masuk ke dalam pondok, tak lama kemudian, ia keluar dari pondok
itu dengan memakai sepatu duri berwarna hitam, selanjutnya Willem menuju
ke arah laki-laki dewasa itu, dan menendang dengan sepatu,
menginjak-injak, meninju, merabik-rabik nokennya, busur dan anak
panahnya serta koteka yang dipakainya dipotong-potong dengan parang.
Laki-laki yang bernama: Yakaiwiyai Yokanago Badii itu pingsan di tempat
pada jam 12 siang. Saat itu, Bapak Willem mengatakan: “Akiki toutipe yamake?” (kamu ada di sini, tetapi kamu bagaimana?).
Melihat
peristiwa itu, Pelipus Pigome merasa takut, jangan-jangan Pak Willem
memukulnya. Pada jam 3 sore, Yakaiwiyai Yokanago Badii terbangun,
berdiri dan pergi ke rumahnya dengan rasa sakit yang amat mendalam tanpa
mengatakan sepata kata.
Willem
didampingi oleh Maiwiyai membangun pondok berbentuk huruf “L” di lokasi
yang disiapkannya. Setelah Willem membangun pondok berbentuk huruf L “idaa owaa”,
keduanya memperluas lokosi itu dengan membersihkan rumput-rumput liar
dan menebang pohon-pohon besar yang ada di sekitarnya. Setelah membuka
lokasi, Willem bersama Maiwiyai menanam tanaman.
Pondok
untuk memulai karyanya sudah selesai dibangun, dan kebun baru sudah
dibuka dan ditanami berbagai macam tanaman, maka tibalah saatnya bagi
Bapak Willem Okomongkop pergi ke Bagou untuk mengambil istri barunya
yang bernama: (Motamadi) Mote Amadi pada akhir tahun 1949.
Willem
bersama istrinya tinggal di pondok berbentuk L yang dibangunnya untuk
memulai karya mulia yang diembannya. Pondok itu dibagi menjadi dua
kamar, yaitu satu kamar berukuran kecil untuk tempat tidur dan kamar
berukuran besar digunakan untuk mengawali karyanya, yaitu meletakkan
dasar bagi tumbuhnya Gereja yang Mandiri dan mengajari anak-anak pada
tahun 1950. Para orang tua mengajari cara berdoa dan para anak mengajari
menghitung dengan menggunakan jubi yang dipotong pendek.
Di
pondok itulah mempersiapkan bahan bangunan untuk membangun rumah dari
bahan dasar kayu, dengan beratap kulit kayu (dauti) milik Bidaugi
Yokaibo dan adik-adiknya. Saat mempersiapkan atap, mata kanan Maiwiyai
rusak tertusuk kulit kayu dauti. Di lokasi itu dibangunlah tiga buah
rumah, satu rumah papan untuk Bapak Willem dengan istrinya, satu rumah
adat untuk Maiwiyai bersama anaknya Pelipus, dan satu rumah adat untuk
Tokowiyai Yokaipouga.
Sedangkan
warga yang berdomisili di Wagomani, membangun rumah di sekitar lokasi
misi yang dirintis oleh Bapak Willem dan Bapak Maiwiyai. Pada tahun 1951
Willem bersama warga setempat membangun rumah satu atap, beratap dauti
yang di dalamnya dibagi menjadi tiga ruang, masing-masing ruang kelas 1,
ruang kelas 2 dan ruang kelas 3; dan rumah itu dipakai untuk mengajar
dan melatih berdoa. Selama 7 tahun (1950 – 1957) penginjilan dipusatkan
hanya untuk mengajar dan melatih cara berdoa.
Beberapa
tahun kemudian, rumah sekolah sekaligus Gereja dipindahkan dan dibangun
tiga ruang satu atap (dengan atap seng) di lokasi baru. Pada tahun
1955-1958 umat Katholik di wilayah Debei menghadapi banyak tantangan
amat berat dari pihak luar.
Dalam
suasana yang penuh dengan tantangan, di kalangan misi hadir seorang
sosok “abdi Tuhan” yang setia, sabar, tegas dan tekun dalam melaksanakan
amanat agung Yesus. Abdi Tuhan itu adalah Bapak Willem Okomongkop. Ia
tidak membiarkan umat yang dipercayakan Allah kepadanya, tetapi ia
selalu berada di tengah kecemasan dan kekhawatiran umat yang
dikasihinya, ia selalu hadir dalam keadaan suka maupun duka. Ia tidak
patah semangat dengan berbagai tantangan yang datang silih berganti,
namun di tengah tantangan, semangat pewartaan dan pelayanannya membara
bagai api dalam sekam. Dalam keterbatasan dan kesederhanaan, ia bersama
Maiwiyai didampingi istri serta kedua anak putrinya yang lahir di
Wagomani meletakkan dasar untuk membangun Gereja yang mandiri.
Sekitar
6 tahun kemudian, Bapak Willem bersama istri dan kedua anaknya (Siska
dan Monika), serta Maiwiyai pindah ke Agamani di Piyake Dimi. Karya
pewartaan dan pelayanan yang diembannya selama 7 tahun terpaksa
ditinggalkannya. Ia pergi bukan karena patah semangat, tetapi hendak
membuka tempat baru untuk menanamkan benih Injil dan pelayanan,
khususnya dibidang pendidikan.
Untuk
menggantikan Bapak Willem, datanglah seorang guru dari pesisir Pantai
Papua, dan kawin dengan Martina Pigome; beberapa bulan kemudian ia
bersama istrinya pindah tugas; dan diganti oleh dua tenaga guru
merangkap katekis, bernama: Maya dan Hindom.
Tenaga
guru dibantu oleh Yohanes Pigome dibidang pendidikan sebagai Penggerak
Orang tua Murid dan Guru (POM G), Lukas Badii menangani dibidang
kerohanian. Dan Bapak Damianus Pigome bertugas sebagai keamanan dibidang
pendidikan. Bapak Stefanus Waine dipilih dan diangkat sebagai Ketua
Kampung yang bertugas untuk mengurus pagar lingkungan, kebun,
menyelenggarakan doa pemulihan dan menyelesaikan masalah yang terjadi di
kalangan masyarakat. Yohanes Pigome, Lukas Badii dan Damianus Pigome
adalah buah pertama dari Bapak Willem Okomongkop.
Pada tahun 1958 para misionaris mengantar buku Mee Manaa
yang di dalamnya memuat berbagai macam berdoa dan katakese. Dengan
adanya buku itu memotivasi umat untuk mulai mengadakan perayaan Ibadat
pada hari Minggu. Pada saat itu para misionaris OFM mendatangkan David
Ukago sebagai tenaga katakese merangkap guru di Kebodagi, kemudian
digantikan oleh Eligius Giyai. Sedangkan Ruben Pekei ditugaskan para
misionaris OFM untuk memberikan katakese merangkap guru kepada Warga
Katholik di Wagomani, kemudian digantikan oleh Herman Youw, dan Paulus Mote. Mereka
inilah yang menjadi tenaga guru menggantikan Maya dan Hindom, serta
mempersiapkan para warga Katholik di Wagomani untuk menerima
sakramen-sakramen.
Sekitar
pada tahun 1958 beberapa warga Katholik Wagomani dibabtis dan komuni
pertama di Gereja Okomokebo oleh Pater Kleopas Legro, OFM. Mereka yang
dibabtis pertama di Okomokebo, antara lain: Yohanes Pigome, Martinus
Pigome, Damianus Pigome, Mathias Waine, Hellena Badii, dan lain-lain.
Mereka
yang telah dibabtis mengambil peran penting untuk mendekati dan
mengajak para warga Kampung lain untuk dipersiapkan menerima babtisan.
Mereka inilah yang membuat pondok panjang dengan atap alang-alang (widime) di Ugapuga, Moanemani, Diyai, dan Waghete untuk menampung umat Wagomani yang datang mengikuti perayaan Paskah dan Natal.
Babtisan
periode kedua terjadi pada hari Rabu, bulan Januari tahun 1962 oleh
Pater van de Bert, OFM di Gereja Diyai. Mereka yang menerima babtisan
dan menerima komuni pertama, antara lain: Pelipus Pigome, Lukas Badii,
Susana Waine, Hendrikus Pigome, Isayas Pigome, Martina Pigome, Veronika
Waine A, Paulus Dawapa, Moses Pigai, Thedikio Dawapa, Agustinus Waine,
Donatus Waine, Eusebius Bobii, Victor Bobii, dan lain-lain. Yang menjadi
saksi babtis adalah Bapak
Natalius Giyai, selaku Kepala Sekolah Dasar Katholik di Wagomani. Pada
tahun 1962 Bapak Natalius membuka kelas IV di Wagomani. Sedangkan
anak-anak yang naik kelas V dan IV dikirim ke Sekolah Dasar Katholik di
Diyai. Kemudian pada tahun 1964 Bapak Natalius Giyai membuka kelas V dan
tahun 1965 membuka kelas VI di Wagomani.
Pada
tahun 1962 para warga Katholik Wagomani membentuk Dewan Gereja pertama,
yang dipercayakan kepada Bapak Lukas Badii. Mereka yang telah menerima
babtisan memiliki tugas untuk mempersiapkan warga Katholik yang belum
menerima babtisan. Bapak Lukas Badii sebagai Ketua Dewan Gereja
melaporkan nama-nama calon babtisan dan komuni pertama serta pernikahan
kepada imam untuk memberikan babtisan, komuni dan pernikahan. Sejak
tahun 1962 ke atas mulai mempersiapkan diri bagi pasangan yang hendak
menerima sakramen pernikahan.
Pada
awal tahun 1969 datanglah dua tenaga guru, yaitu: Mariono dan Marsidi.
Beberapa bulan kemudian pecah perang antara Indonesia dan Organisasi
Papua Merdeka (OPM), akhirnya kedua tenaga guru ini pindah tugas. Di
tengah suasana perang, datanglah seorang guru, bernama Mipitapo asal
Pantai Papua. Akhir tahun 1969 perang antara Indonesia dan OPM berakhir.
Tahap Pemantapan Dan Pengembangan Misi Katholik Di Debei
Tahun
1970 adalah tahun terpenting bagi Gereja Katholik Wagomani. Setelah
Bapak Eusebius Bobii kembali dari Modio, ia membuat pemetaan untuk
membuka sayap yakni mendirikan Kring-Kring baru. Bapak Eusebius menanam
patok pertama di Pepeya – Demago, kedua, menanam patok di Tadauto I; dan
ketiga Kebodagi, dan potak keempat di Matadi I (Woo
Matadi). Setelah melakukan patok (pemetaan), Eusebius mengumpulkan para
warga Katholik untuk membentuk Badan Pengurus Gereja yang permanen.
Dalam pertemuan itu memilih Eusebius sebagai Katekis pertama di pusat
Stasi Wagomani dan Dewan Stasi dipercayakan kepada Lukas Badii,
Sekretaris Umum Paulus Dawapa, dan sebagai bendahara Umum Victor Bobii;
Donatus Waine dan Pelipus Pigome dipilih sebagai ketua Kring I dan II di
Pepeya – Demago, Isayas Pigome dan Hendrikus Pigome sebagai ketua I dan
II Kring di Tadauto I, Paulus Dawapa dan Moses Pigai sebagai Ketua
Kring di Kebodagi, dan di Matadi I mendapat persetujuan untuk
menempatkan Kring oleh Auweibo, dan di Matadi I tidak menempatkan tenaga
karena kekurangan tenaga pewarta, tetapi pelayanan dilakukan secara
bergilir dari pusat Stasi dan Kring.
Demi
kemajuan karya pewartaan dan pelayanan di Stasi Wagomani, pembagian
peran di antara badan pengurus Gereja menjadi jalan terbaik, maka
sekerataris Stasi adalah ketua Kring Kebodagi, Ketua Kring Tadauto
menangani katakese dengan berpedoman pada buku Mee Manaa,
ketua Kring Demago sebagai penasehat, Dewan Stasi dan Katekis sebagai
pengontrol dan pembina. Di masa itu, menurut Bapak Pelipus Pigome
masing-masing peran dilaksanakan dengan baik oleh para ketua Kring,
Katekis dan Dewan Stasi, maka kekompakan dalam pewartaan dan pelayanan
berjalan dengan baik.
Para
ketua Kring dan Katekis membagi peran untuk mempersiapkan para warga
Katholik yang hendak menerima sakramen-sakramen. Nama-nama calon
diberikan kepada Dewan Stasi untuk dilaporkan kepada Imam agar
dijadwalkan untuk memberikan skaramen-sakramen dimaksud.
Pada mulanya, Kring Demago, Tadauto dan Kebodagi serta Matadi I membangun pondok (Idaa Owa)
sebagai gedung Gereja untuk melakukan Ibadat dan pemberian katekese
bagi yang menerima sakramen-sakramen. Sedangkan di pusat Stasi
menggunakan Gedung Sekolah sebagai pusat ibadat dan katakese.
Pada
tahun 1971 mengadakan pertemuan Dewan Stasi dan Katekis serta para
ketua Kring. Dalam pertemuan itu membahas dan memutuskan untuk
memisahkan antara gedung Gereja dan Sekolah yang sebelumnya gedung
Sekolah digunakan juga sebagai gedung Gereja. Dalam pertemuan itu juga
memutuskan hari Senin sebagai hari khusus untuk melakukan
kegiatan-kegiatan Gereja dengan kata lain “hari khusus untuk Gereja”.
Juga bersepakat untuk membuka kebun milik Gereja. Hasil
pertemuan ini disambut baik oleh warga Katholik dan mulai mempersiapkan
bahan-bahan bangunan gedung Gereja dan membuka kebun milik Gereja.
Dalam
suasana persiapan untuk menata keluarga dan Gereja stasi Wagomani yang
lebih baik, datanglah kabar dari Keuskupan Jayapura untuk menggelar
Musyawarah Pastoral pada tahun 1972. Setiap Stasi di Keuskupan Jayapura
hadir dalam MUSPAS dimaksud. Untuk stasi Wagomani, Bapak Eusebius Bobii
ikut serta dalam MUSPAS pertama dengan Thema: “Berdiri di atas kaki
sendiri”. Hasil MUSPAS dibawa pulang oleh semua peserta ke Paroki dan
Stasi masing-masing. Hasil MUSPAS disampaikan oleh Katekis Stasi
Wagomani (Eusebius Bobii) kepada warga umat. Hasil MUSPAS dikemas dalam 4
perumpamaan, yaitu:
Pertama, “sesuatu barang dikemas rapi dalam sebuah bungkusan”. Yang
mengetahui isi dari bungkusan itu adalah orang yang membungkusnya. Itu
artinya, manusia diciptakan oleh Allah. Hanya Allah saja yang mengetahui
maksud penciptaan, hanya Allah saja mengetahui isi hati setiap
ciptaan-Nya. Setiap manusia memiliki karunia yang diberikan dengan
cuma-cuma oleh Allah, dan karunia itu adalah isi dari ciptaan-Nya.
Setiap manusia harus menemukan karunia yang ada padanya, dan melakukan
karunia itu. Setiap manusia diberikan karunia yang berbeda-beda. Dengan
karunia itu, setiap manusia melayani Tuhan dan sesamanya. Perumpamaan
ini dapat diartikan juga: bungkusan lapisan pertama adalah Paus, lapisan
kedua adalah uskup, lapisan ketiga adalah imam, lapisan keempat adalah
diakon, lapisan kelima katekis, lapisan keenam adalah ketua Kring, dan
lapisan ketujuh adalah umat. Yang membungkus tujuh lapisan itu adalah
Allah. Isi dari bungkusan itu adalah Firman Allah.
Kedua, dibuatlah seekor kuskus dari “Yuwa”.
Kuskus itu dipanah berkali-kali, tetapi anak panah hanya kena
dibulu-bulunya saja. Artinya manusia berusaha keras untuk memiliki
firman Allah, tetapi firman itu hanya bertahan sebentar dalam hati
manusia, hanya sebentar saja percaya, hanya sebentar saja aktif dalam
Gereja, hanya sebentar saja bertobat, dan tidak melaksanakan tugas yang
dipercayakan dengan penuh tanggung jawab. Sama halnya dengan para
murid-Nya, walaupun banyak murid yang mengikuti Yesus, tetapi hanyalah
12 murid yang dipilih oleh Yesus. “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit
yang dipilih”.
Ketiga, “beko, mamo, yuwa, utu”; jika diartikan: “beko” itu sebagai laki-laki, “mamo” itu istri, “yuwa” itu tanah atau “owaa daa”, “utu” sebagai anak-anaknya. Jika hal ini dihubungkan ke dalam agama, “beko” itu sebagai Yesus, “mamo” sebagai santa Maria, “yuwa” itu sebagai karunia, “utu” sebagai kebaikan, cinta kasih.
Keempat,
“busur dan anak panah”; artinya tali busur itu simbol laki-laki, busur
itu istri, di ujung-ujung busurnya dililit dengan tali agar tahan dan
kuat; sama halnya dengan kedua mempelai disatukan dengan nikah kudus
oleh Allah melalui simbol mengenakan cincin; anak panah itu simbol
anak-anaknya. Anak panah memiliki beberapa jenis, yaitu: Taka, Pita, Tomo, Aweya, Tokopa.
Anak panah memiliki beberapa karunia. Tali itu Allah-Yesus-Roh Kudus,
busur itu tanah, anak panah itu manusia, setiap manusia memiliki
karunia, maka manusia melakukan karunia di atas tanah yang Tuhan
ciptakan. Tali sebagai pikiran, busur sebagai hati, anak panah sebagai
karunia. Pita itu iyebeu (pemalas), tomo berfungsi untuk bunuh babi, taka fungsinya bunuh burung, tokopa itu bunuh burung, aweya fungsinya untuk bunuh kus-kus.
Inilah
hasil MUSPAS yang dikemas dalam empat perumpamaan yang telah
disampaikan kepada para ketua Kring dan Dewan Stasi serta warga umat di
stasi Wagomani oleh kataki setempat. Empat perumpaan ini memotivasi para
warga umat di Stasi Wagomani untuk mewujud-nyatakan dalam kehidupan
menggereja dan bermasyarakat.
Dengan
semangat MUSPAS yang dikemas dalam empat perumpaan di atas yang
disampaikan oleh Eusebius Bobii sebagai Katekis pertama dari Debei, maka
para warga Katholik bersama para pemimpin stasi dan kring mempersiapkan
bahan bangunan untuk membangun gedung Gereja di pusat stasi. Untuk itu,
mereka memikul kayu cina (mugu) sebagai tiang dari Matadi. Dan
untuk membuat Papan, para warga Katholik menggunakan wayar (gergaji
besar), lokasi pengambilan kayu (papan) di sebelah gunung Makiyai dan
Mogako. Bahan bagunan, khusus untuk kayu (tiang dan papan) ditanggung
oleh warga umat, sedangkan daun seng dan paku sebagian ditanggung oleh
warga umat setempat dan yang lain diberikan oleh para misionaris. Dengan
kerja keras, para umat membangun gedung Gereja di pusat Stasi pada
tahun 1973. Selanjutnya setiap Kring membangun gedung Gereja baru dengan
papan cincang dengan atap kulit kayu antara tahun 1973 - 1975.
Para
warga Katholik yang mendapat babtisan di setiap Kring, mereka mengambil
peran untuk melatih berdoa kepada warga umat lain, sedangkan para ketua
kring mengambil peran untuk mempersiapkan warga umat yang hendak
menerima sakramen-sakramen.
Umat
Katholik di setiap Kring minoritas di Daerah Debei, sementara mayoritas
adalah jemaat Kingmi. Karena itu, para ketua Kring dan Katekis serta
Dewan Stasi bekerja keras untuk mempertahankan dan mengembangkan karya
keselamatan melalui pewartaan dan pelayanan.
Karya
kemandirian Gereja ditempuh melalui beberapa kegiatan, antara lain:
membuat kebun milik Gereja, dan memelihara ternak. Dari hasil usaha
warga umat, maka setiap Kring membangun gedung Gereja dengan papan
cincang dan beratap seng pada tahun 1976.
Pada
tahun 1979 ketua Kring Demago melanjutkan pendidikan di Sekolah
Pendidikan Lanjutan (SPL), walaupun lanjut sekolah, ia tetap menjabat
sebagai ketua Kring Demago. Pada tahun 1982 katakis, Eusebius Bobii juga
melanjutkan pendidikan SPL, dan penggantinya adalah Emanuel Waine
menjadi pewarta di Stasi Wagomani. Karena katekis Emanuel mengambil
istri kedua, maka ia mengundurkan diri, dan digantikan oleh Dolpikus
Badii yang saat itu menjadi pewarta di Kring Matadi I pada tahun 1984,
dan menjadi Dewan Stasi adalah Hubertus Badii. Dua tahun kemudian,
(1986), Willem Pigome dipercayakan sebagai pewarta menggantikan pewarta
Dolpikus Badii. Pewarta ini pun mendapat kasus (kawin istri kedua), maka
para tokoh gereja, adat, perempuan, dan pemerintah datang menemui
Pelayan Umat Anton Tekege (alm) sebagai pastor paroki Diyai untuk
memindahkan pewarta Matadi, Willem Pigome sebagai pewarta stasi
Wagomani. Permintaan itu dikabulkan oleh penanggung jawab paroki Diyai.
Para
tokoh Gereja, perempuan, adat, dan pemerintah, para guru datang ke
Matadi mengambil pewarta Kring Matadi I untuk menggantikan pewarta stasi
Wagomani. Malam penjemputan, diramaikan dengan lagu-lagu. Sejak tanggal
11 Pebruari 1991 pewarta Willem Pigome menjabat sebagai pewarta Stasi
St. Yoseph Wagomani.
Program
pertama setelah Willem pindah dari Matadi, adalah menggelar pertemuan
dengan Badan Pengurus Stasi; dalam pertemuan itu memutuskan bahwa
sepakat untuk membangun gedung Gereja stasi Wagomani. Selama dua tahun,
1991-1992 menyiapkan bahana bangunan dan dana. Pada tahun 1993 membangun
gedung Gereja dari para tukang karya mulia dari kevikepan Enarotali.
Pada tahun 1994, setelah membangun gereja induk, ada perencanaan baru, yakni membangun Gereja Kring-Kring yang ada di Stasi Wagomani, termasuk merencanakan untuk membuka Kring baru di Matadi II (Miyo
Matadi). Pada tahun 1995 ada program kegiatan paroki untuk memberikan
Krisma, Pastor Paroki menetapkan dua wilayah, yaitu wilayah pusat paroki
Diyai dan wilayah Debei stasi Wagomani.
Uskup
Jayapura, Leo Labba Ladjar, OFM pernah datang di Stasi Wagomani untuk
memberikan Krisma pada tahun ...?, peserta calon Krisma dari wilayah
Debei sebanyak 96 orang. Dalam tahun itu, Badan Pengurus Gereja Stasi
Wagomani membentuk DAPENWA (Dana Pendidikan Stasi Wagomani), program ini
direncanakan bersama dengan pastor paroki Diyai, Marten Kuawo, Pr.
Hasil dana Depenwa,ada beberapa guru agama.
Pada
tahun 2000 Dewan Stasi, pewarta dan para ketua Kring bersama Pastor
Paroki Diyai merencanakan menyiapkan bahan bangunan dan dana untuk
membangun geduang Gereja di setiap Kring,tahap perama Kring Tadauto dan
Demago. Pada akhir tahun 2001 sudah mulai membangun gedung Gereja di
Kring Tadauto dan Demago oleh tukung Samuel Pekei. Pada tanggal 25
Desember 2001 meresmikan dua gedung Gereja itu oleh pater Kristiono, SJ
sekaligus memberikan nama pelindung, St. Yohanes Pembabtis Demgo dan St.
Maria Tadauto. Pada tahun 2002 merencanakan bersama Pastor Paroki, ibu
Cristin Rahangiar untuk membangun gedung Gereja Kebodagi dan Matadi II
serta rumah Tornei. Pada tahun 2003 gedung Gereja Katholik Matadi II dan
Kebodagi serta rumah Tornei di pusat Stasi dibangun. Dan pada akhir
tahun dua gedung Gereja diresmikan oleh pater Vikep Jhon Philip Saklil,
Pr dengan memberikan nama pelindung, St. Paulus Kebodagi dan St.
Fransiskus Saverius Asisi Matadi.
Tanggal
3 Desember 2003 peresmian gedung Gereja Matadi dan pada saat itu secara
resmi Pater Vikep membuka SD YPPK Matadi II sebagai kenang-kenangan,
dan tanggal 4 Desember 2003 peresmian gedung Gereja Kebodagi. Dalam
perayaan peresmian gedung Gereja Kebodagi, ada sakramen babtis dan
perkawaninan. Saat itu pater Vikep Jhon Plip Saklil Pr sebagai calon
uskup keuskupan Timika.
Pada waktu kunjungan ke Matadi, pater Vikep Jhon
Philip pernah bermimpi bahwa dirinya diangkat menjadi uskup. Delapan
hari kemudian setelah pulang dari peresmian mimpinya menjadi kenyataan,
pater Vikep Jhon Philip Saklil Pr mendapat kabar resmi dari kepausan
bahwa ia diangkat sebagai uskup Keuskupan baru Timika.
Proses Pemekaran Paroki Baru Di Wilayah Debey
Pada hari Senin, 26 Desember 2011 pada jam 09.00 WPB bertempat di Emaa Owaa
Stasi St. Yoseph Wagomani menggelar Musyawarah Kelompok dan Kombas
campuran yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Kombas dan tokoh Agama,
tokoh Perempuan, para kepala suku, kepala Kampung, pendidikan dan
kesehatan serta unsur lain yang terkait untuk Penggalian Gagasan Pemekaran
Paroki baru di wilayah Debei. Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Dewan
Stasi dan Pewarta itu memutuskan bahwa: 1) Sepakat untuk membentuk
kuasi/paroki baru di wilayah Debei; 2) Membentuk Panitia Persiapan
Pemekaran Kuasi/Paroki Baru,dengan susunan Panitia: Ketua (Stefanus
Bobii), Sekretaris (Frans Waine); 3) Sepakat untuk mengajukan proposal
oleh Panitia.
Pada
tanggal 1 Januari 2012 Panitia menyelengarakan pertemuan untuk membahas
pengajuan proposal untuk pemekaran kuasi/paroki baru di wilayah Debei.
Pada tahun 2012 pernah mengajukan proposal kepada Pastor dan Dewan
Paroki, serta Dekan Paniai. Ide pemekaran Paroki baru di wilayah Debei
tibul karena alas an jarak antara Debei dan pusat paroki amat jauh. Ide
dimaksud disampaikan melalui tertulis dan lisan kepada pastor dan Dewan
Paroki, Dekan Paniai serta Uskup Keuskupan Timika dalam berbagai
kesempatan oleh Panitia, Pewarta dan Dewan Stasi serta umat. Dalam
pembukaan MUSMEE yang diselenggarakan di Diyai, pada awal tahun 2014,
harapan umat Katholik wilayah Debei untuk pemekaran paroki baru
disampaikan kepada Pastor Paroki Diyai dan Dekan Paniai dalam
demonstrasi.
Pastor
dan Dewan Paroki, Dekan sekaligus wakil Uskup dan Uskup Keuskupan
Timika menjawab kerinduan dan harapan umat untuk pemekaran paroki baru
dijawab pada bulan September – Oktober 2015. Pada hari Sabtu, 10 Oktober
2015 Pastor Paroki dan Dewan Paroki induk bersama umat di Stasi St.
Yoseph Wagomani membentuk Dewan Kuasi Paroki baru di wilayah Debei.
Hari
Kamis, 22 Oktober 2015 bertempat di rumah Tornei, Dewan Kuasi Paroki
baru menyusun Rencana Kerja (program) yang dibagi ke dalam, program
jangka pendek, menengah dan panjang, antara lain: pengukuran lokasi baik
di pusat kuasi, dan stasi-stasi baru, menyiapkan adminitrasi, khususnya
mengumpulkan data umat, pagar lingkungan Gereja dan sekolah, meratakan
tanah untuk membangun pastoran, memekarkan Kring menjadi stasi, dan
memekarkan kombas-kombas baru, dan lain-lain.
Kuasi
Paroki baru wilayah Debei memiliki 5 Stasi dan 11 kombas, yaitu stasi
Wagomani 3 kombas, stasi Kebodagi 2 kombas, stasi Demago 2 kombas, stasi
Tadauto 2 kombas, dan stasi Matadi II 2 kombas. Demikian sejarah
singkat Misi Katholik masuk di Daerah Debei.
Daftar Pustaka/Sumber:
1. Buku
Frans
Bobii, “Herman Tillemans, Awee Pito” 2014
2.Wawancara
Adam
Badii pada tanggal 26 Oktober 2015 di Emaa Owaa Kuasi St. Yoseph Wagomanipada
jam 10.00 – 11.30 WPB,diwawancarai oleh Selpius Bobii.
Donatus
Pigome pada tanggal 26 Oktober 2015 di Emaa Owaa Kuasi St. Yoseph wagomanipada
jam 12.30 – 12.00 WPB, diwawancarai oleh Selpius Bobii.
Philipus
Pigome, pada tanggal 26 Oktober 2015 pada jam 12.00 – 17.00 WPB, dan tanggal 27
Oktober 2015 di rumah Tornei kuasi St. Yoseph Wagomani pada jam 09.00 – 16.30
WPB, diwawancarai oleh Selpius Bobii.
Dominikus
Badii, pada tanggal 31 Oktober 2015 di rumah Stefanus Bobii di Tadauto pada jam
12.00 – 13.00 WPB, diwawancarai oleh Selpius Bobii.
Stefanus
Bobii, pada tanggal 31 Oktober 2015 di rumah Stefanus Bobii di Tadauto pada jam
13.00 – 14.00 WPB, diwawancarai oleh Selpius Bobii.
0 komentar:
Posting Komentar